SEJARAH SINGKAT KOTA
LUMAJANG
Bumi
LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang
"PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA
RAHARJA".
PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu. Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA.
Beberapa bukti peninggalan yang ada
antara lain :
1.
Prasasti Mula Malurung
2.
Naskah Negara Kertagama
3.
Kitab Pararaton
4.
Kidung Harsa Wijaya
5.
Kitab Pujangga Manik
6.
Serat Babat Tanah Jawi
7.
Serat Kanda
Dari
Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975 dan ber-angka
tahun 1177 Saka (1255 Masehi) diperoleh informasi bahwa NARARYYA KIRANA,
salah satu dari anak Raja Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan
Singosari, dikukuhkan sebagai Adipati (raja kecil) di LAMAJANG(Lumajang).
Pada tahun 1255 Masehi, tahun yang merujuk pada pengangkatan NARARYYA KIRANA
sebagai Adipati di Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai
dasar penetapan Hari Jadi Lumajang (HARJALU).
Dalam
Buku Pararaton dan KIDUNG HARSYA WIJAYA disebutkan bahwa para pengikut Raden
Wijaya atau Kertarajasa dalam mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai
Pejabat Tinggi Kerajaan. Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara
dan ditempatkan di Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat
sebagai Rakyan Mapatih.
Pengangkatan
Nambi sebagai Mapatih inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan di
Majapahit. Apalagi dengan munculnya Mahapati(Ramapati) seorang yang cerdas,
ambisius dan amat licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi
Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Suro,
dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.
Nambi
yang mengetahui akan maksud jahat itu merasa lebih baik menyingkir dari
Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya(Arya Wiraraja) sedang
sakit, maka Nambi minta izin kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah
Wiraraja meninggal pada tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke
Majapahit, bahkan membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu
pasukan Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.
Pupuh
22 lontar NAGARA KERTAGAMA yang ditulis oleh Prapanca menguraikan tentang
perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi
tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad
terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK
KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan
tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno,
keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah
tokoh dongeng belaka.
Di
tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara terdapat bangunan mirip candi,
berlubang tembus, terdapat CANDRA SENGKALA yang berbunyi "TRUSING NGASTA
MUKA PRAJA" (TRUS=9, NGASTA=2, MUKA=9, PRAJA=1). Bangunan ini merupakan
tetenger atau penanda, ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu
pada tahun 1929. Lumajang dinaikkan statusnya menjadi REGENTSCAH otonom per 1
Januari 1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT KERTO
ADIREJO, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah
administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah
Kabupaten Probolinggo).
Pada
masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949,
Lumajang dijadikan sebagai basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.
Nama-nama
seperti KAPTEN KYAI ILYAS, SUWANDAK, SUKERTIYO, dan lain-lainnya, baik yang
gugur maupun tidak, yang dikenal atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa
yang dengan meneruskan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan
bekerja secara tulus, menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan
bersedia berkorban demi kemajuan Lumajang Tercinta.
Mengingat
keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang
sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja
(pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember
1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati
Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990
Sejak
tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan
kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen
/ tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.
|
SABTU MALAM ATAU MALAM MINGGU?
Tulisan
ini terinspirasi oleh sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang pelajar
asing dari Jepang yang belajar bahasa Indonesia di Universitas Indonesia.
Pertanyaan yang dilontarkan oleh orang itu adalah, “Kenapa orang Indonesia
mengenal dua penamaan waktu?” Maksud dari dua penamaan waktu di sini adalah
adanya dua penyebutan untuk satu waktu yang sama, misalnya kita mengenal malam Minggu danSabtu malam. Kedua frase tersebut sebenarnya mewakili satu waktu
yang sama, yaitu malam hari pada hari Sabtu.
Bagaimana awalnya sehingga Bahasa Indonesia memiliki dua penyebutan untuk mewakili satu waktu yang sama? Seperti yang telah kita ketahui bangsa Indonesia telah mendapatkan banyak pengaruh dari luar,terutama Islam dan Barat. Hal ini ternyata juga memberi dampak pada pembentukan Bahasa Indonesia. Sebagai jawaban dari pertanyaan di atas kita akan melihat bagaimana konsep masa pada satu hari dalam Islam dan Barat.
Secara alamiah, manusia menganggap bahwa satu hari adalah lamanya masa satu putaran bumi di atas porosnya. Kemudian, manusia membagi satu hari ke dalam beberapa bagian kecil, seperti pagi, siang, sore dan malam. Selain itu, satu hari dibagi pula dalam bagian terkecil, yakni jam (1hari=24jam). Hal tersebut berlaku secara umum di semua bangsa.
Akan tetapi, hal yang berbeda adalah kapan hari itu dimulai. Menurut Azmi Abdullah,”Fahaman barat menanggapi jangka masa ‘satu hari’ bermula selepas waktu tengah malam (12:00 pm) berikutnya.” Abdullah.Azmi:2003)
Berdasarkan pendapat tadi, kita dapat melihat bahwa konsep penyebutan Sabtu malam merupakan konsep yang diambil dari penyebutan orang Barat. Hal ini dapat kita temui dalam bahasa Belanda, yaitu Zaterdag avond, dan Bahasa Inggris, Saturday night. Jadi,dapat disimpulkan bahwa frase Sabtu malam merupakan penyebutan yang berasal dari pengaruh barat karena Sabtu malam merupakan malam hari pukul 18:00 – 24:00 yang masih terjadi pada hari Sabtu. Jika lewat dari pukul 24:00, maka disebut Minggu dini hari.
Selain penamaan tersebut, dalam bahasa Indonesia juga berlaku konsep satu hari yang berlaku dalam Islam. Sementara dalam fahaman Islam, jangka masa ‘satu hari’ bermula sebaik-baik saja masuk waktu sholat maghrib dan berakhir sebaik-baik saja sebelum masuk waktu sholat maghrib berikutnya (Abdullah,Azmi:2003)
Konsep satu jangka masa menurut Islam tersebut sesuai dengan penyebutan malam Minggu dalam Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan penyebutan malam Minggu terjadi karena sebenarnya pada hari itu sudah masuk hari Minggu. Jadi,hari Sabtu pukul 18:00 menurut perhitungan waktu Barat masih dianggap hari Sabtu, sedangkan menurut perhitungan waktu Islam sudah masuk ke hari Minggu sehingga bisa disebut malam Minggu. Akan tetapi, perhitungan Islam ini tidak mengenal dini hari, konsep dini hari sudah diwakili dengan konsep waktu subuh,beberapa saat sebelum matahari terbit. Jadi, sebelum subuh masih dianggap malam hari.
Hal ini terlihat pula dari penyebutan konsep tadi malam dan kemarin malam. Kata tadi dan kata kemarin memiliki perbedaan konsep masa. Kata tadi dipakai untuk jangka waktu yang telah berlalu, tetapi masih dalam satu kurun waktu yang sama, dalam hal ini satu hari. Sebaliknya, kata kemarin dipakai untuk mengutarakan konsep waktu yang sudah berlalu, tetapi dalam kurun waktu hari yang berbeda.
Sebagai contoh, hari ini hari Sabtu pagi pukul 05:00 WIB. Kita bisa mengatakan hari Jumat malam pukul 23:00 dengan frase kemarin malam. Akan tetapi, kita juga bisa menyebut hari jumat malam itu dengan frase tadi malam. Kenapa? Hal itu terjadi karena dua penyebutan tersebut menggunakan dua konsep jangka waktu yang berbeda. Frase kemarin malam dipakai untuk konsep jangka waktu yang kita ambil dari Barat, sedangkan frase tadi malam dipakai untuk konsep jangka waktu yang kita ambil dari Islam.
Selain konsep waktu, ternyata konsep penamaan hari dalam Bahasa Indonesia pun terpengaruh oleh dua unsur asing, yaitu Islam, dalam hal ini Bahasa Arab, dan Barat, dalam hal ini Bahasa Portugis. Akan tetapi, jika dihitung hanya satu hari saja yang menggunakan nama yang berasal dari Bahasa Portugis, sedangkan enam hari lainnya menggunakan nama dari Bahasa Arab yang sudah diserap kedalam Bahasa Indonesia.
Nama hari yang berasal dari Bahasa Arab antara lain sebagai berikut.
Senin = Ithanain = hari kedua
Selasa = Thulata = hari ketiga
Rabu = Arbia = hari keempat
Kamis = Khamis = hari kelima
Jumat = Jumuah = hari keenam
Sabtu = Sabtu =hari ketujuh
Sedangkan nama hari yang berasal dari Bahasa Portugis adalah hari “Minggu” yang berasal dari kata “Domingo” merujuk ke dalam Bahasa Inggris, yaitu “Sunday”, Sunday sendiri sebenarnya diturunkan dari Old English “Sunnandaeg” yang berarti ‘Day of the sun’ (Azmi,Abdullah:2003)
Kita dapat menyimpulkan bahwa pengaruh Islam tenyata lebih kuat di Indonesia. Akan tetapi, perkembangan Bahasa Indonesia dewasa ini telah menunjukkan pergeseran hari. Hari minggu yang pada awalnya merupakan hari pertama dalam satu minggu menjadi hari yang terakhir dalam satu minggu. Sedangkan hari Senin yang sebenarnya merupakan hari kedua menjadi hari yang pertama sebagai permulaan minggu. Kita dapat melihat kenyataan tersebut melalui lagu anak-anak yang diperkenalkan kepada setiap anak-anak di Indonesia, yaitu”Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, itu nama-nama hari.”
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa konsep perhitungan dan penamaan hari dalam Bahasa Indonesia merupakan hasil dari pencampuran konsep dari berbagai bangsa. Meskipun demikian, konsep-konsep tersebut sudah disesuikan menjadi konsep penghitungan dan penamaan hari dalam bahasa Indonesia karena ada beberapa hal yang sudah menjadi ciri khas penghitungan dan penamaan hari dalam bahasa Indonesia.
Diambil dari KATA (Media Komunikasi Antarbahasawan) Vol.8 No.2/Oktober 2005
Artikel:
Nazarudin (alumni mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI)
Sumber:
Abdullah, Azmi, 2003.”Konsep dan Istilah Masa dalam Masyarakat Melayu di Negara Brunei Darussalam.”
Rintisan Kajian Leksikologi dan Leksikografi. Depok: FIB UI
PDKT
Via Hp dan Facebook ( dalam Perspektif hukum Islam )
Manusia adalah makhluk
sosial yang mendambakan hidup damai dan harmonis. Adalah normal jika manusia
mengalami ketertarikan dengan lawan jenisnya. Motivasi untuk bisa mengenal
karakter, menyamakan pandangan hidup dan motif-motif lainnya, seringkali
dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan pacaran, bahkan beberapa pihak ada
yang sedikit peduli dengan kelestarian norma etik-sosial sehingga merumuskan konsep
“Pacaran Islami”.
Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia berada diluar kendali manusia. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita (Q.S Ali-Imran 14)
Redaksi ayat diatas menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Bahkan, cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai dengan norma syari’at. Islam dengan universalitas ajarannya telah mengatur hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal, tak terkecuali hubungan antara dua muda-mudi yang sedang dirundung asmara.
Diakui atau tidak, rasa cinta dapat mendorong terhadap perubahan perilaku seseorang yang sedang dilandanya. Bahkan terkadang dapat memotifasi terhadap tingkah laku buruk (tidak sesuai dengan syari’at). Seribu cara ia lakukan demi mewujudkan
keinginannya. Disisi lain, terkadang ada seseorang merasa sulit untuk mengungkapkan isi hatinya. Akhirnya, Atas nama cinta, perasaan yang selalu terpendam diungkapkan melalui via SMS atau facebook atau jejaring sosial lain yang sejenis.
Bagaimana Islam mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang dilanda asmara? Adakah konsep “Pacaran Islami” dalam tradisi Islam? Bolehkah PDKT via HP, facebook dan lain sebagainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Marilah kita simak uraian singkat dibawah ini!
Definisi Pacaran
Istilah “pacaran” secara harfiah tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Secara umum, tidak cukup kiranya jika kata “pacaran” hanya didefinisikan dengan pertemanan, berduaan ditempat yang sepi, atau diartikan dengan makan. jagung berduaan, nonton bareng, ngobrol atau apel setiap malam minggu kerumah sang kekasih. Kata “pacaran” lebih tepat jika diartikan dengan hubungan kemesraan antara dua sejoli yang saling memadu kasih. Sebab konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekedar media saling mengenal. Sepasang kekasih bisa dikategorikan sedang berpacaran, sekurang-kurangnya apabila keduanya pernah bergandengan tangan. Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya jika istilah pacaran dianggap bid’ah dalam tradisi Islam.
Dipihak lain, sangat tidak tepat jika kata pacaran diidhafah-kan(disandarkan) dengan kata “Islam”. Sebab jika kita mendengar istilah “Pacaran Islami”, maka secara axiomatic(badihi), akan timbul persepsi bahwa Islam telah melegalkan pacaran yang selama ini menjadi momok penghancur generasi muda yang taat beragama. Padahal konsep "Pacaran Islami" justru ditengarai menjadi perangkat untuk merusak jiwa para generasi muda Islam. Sebab secara tidak langsung, mereka akan lebih berani dan terdorong untuk memperluas wilayah pergaulan bebas antar lawan jenis tanpa mengetahui prosedur yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Akibatnya, akan terjerumus dalam “cinta terlarang”. Bahkan mereka tidak sadar bahwa semua itu sebenarnya merupakan virus yang dikemas dalam bungkus agama. Tentunya kita masih ingat dengan acara Take me out yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Dalam acara tersebut, kita jumpai istilah “Ustadz Cinta”, sebuah istilah baru yang secara esensial sulit untuk kita definisikan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah
tersebut. Sangat tidak logis jika kata “Ustadz” disandarkan pada kata “Cinta”.
Sebab konotasi kata “ustadz” adalah seorang guru ngaji. Dan masih banyak lagi istilah-istilah baru yang tidak pernah ditemukan dalam tradisi Islam, bahkan terkesan ingin menghancurkan budaya Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu:
Istilah “pacaran” secara harfiah tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Secara umum, tidak cukup kiranya jika kata “pacaran” hanya didefinisikan dengan pertemanan, berduaan ditempat yang sepi, atau diartikan dengan makan. jagung berduaan, nonton bareng, ngobrol atau apel setiap malam minggu kerumah sang kekasih. Kata “pacaran” lebih tepat jika diartikan dengan hubungan kemesraan antara dua sejoli yang saling memadu kasih. Sebab konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekedar media saling mengenal. Sepasang kekasih bisa dikategorikan sedang berpacaran, sekurang-kurangnya apabila keduanya pernah bergandengan tangan. Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya jika istilah pacaran dianggap bid’ah dalam tradisi Islam.
Dipihak lain, sangat tidak tepat jika kata pacaran diidhafah-kan(disandarkan) dengan kata “Islam”. Sebab jika kita mendengar istilah “Pacaran Islami”, maka secara axiomatic(badihi), akan timbul persepsi bahwa Islam telah melegalkan pacaran yang selama ini menjadi momok penghancur generasi muda yang taat beragama. Padahal konsep "Pacaran Islami" justru ditengarai menjadi perangkat untuk merusak jiwa para generasi muda Islam. Sebab secara tidak langsung, mereka akan lebih berani dan terdorong untuk memperluas wilayah pergaulan bebas antar lawan jenis tanpa mengetahui prosedur yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Akibatnya, akan terjerumus dalam “cinta terlarang”. Bahkan mereka tidak sadar bahwa semua itu sebenarnya merupakan virus yang dikemas dalam bungkus agama. Tentunya kita masih ingat dengan acara Take me out yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Dalam acara tersebut, kita jumpai istilah “Ustadz Cinta”, sebuah istilah baru yang secara esensial sulit untuk kita definisikan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah
tersebut. Sangat tidak logis jika kata “Ustadz” disandarkan pada kata “Cinta”.
Sebab konotasi kata “ustadz” adalah seorang guru ngaji. Dan masih banyak lagi istilah-istilah baru yang tidak pernah ditemukan dalam tradisi Islam, bahkan terkesan ingin menghancurkan budaya Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu:
كلمة
حق اريد بها باطل
Pernyataan tersebut merupakan bantahan atas semboyan لا حكم الا لله yang diusung oleh kaum Khawarij karena ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan sahabat Ali yang menerima arbitrase (tahkim). Semboyan tersebut memang benar, namun ditafsirkan lain oleh mereka.
Dalam konteks ini, Islam telah mengenalkan prosedur yang sangat indah dan proporsional yang mengatur hubungan antara lawan jenis, yaitu konsep khitbah.
Khitbah, Solusi Berpahala
Pernikahan dapat terjalin dengan penuh rasa kepercayaan bila didasari pengetahuan akan karakter masing-masing dari dua sejoli. Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar tempat berlabuh hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang menyatukan antara sepasang manusia dalam satu bahtera rumah tangga yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban bersama untuk membina dan mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Agar nilai sakralitas sebuah pernikahan tetap terjaga, maka posisi khitbah sangat urgen untuk menjembatani kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi fundamental khitbah hanya sebagai media ta’aruf (saling mengenal), maka legalitas kedekatan hubungan ini sangat terbatas.
Para ulama sepakat bahwa khithbah sebelum nikah hukumnya diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat apakah khithbah hukumnya sunah ataukah hanya diperbolehkan saja?
Pendapat yang kuat dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa khithbah hukumnya sunah.
Mereka beralasan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah melamar (Khitbah) Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar ibn khaththab. Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, tidak disunahkan.
Para fuqaha sepakat bahwa seorang pria yang bertujuan untuk menikahi seorang wanita diperkenankan terlebih dahulu melihatnya meskipun pihak wanita tidak memberi izin.
Ibn Qudamah mengatakan: “Saya tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat tentang diperbolehkan melihat perempuan bagi seseorang yang hendak menikahinya”. Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan sebagian Hanabilah ), mengatakan bahwa hukum melihat tersebut adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
اُنْظُرْ
إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَدُوم بَيْنكُمَا المَوَدَّةُ وَالأُلْفَةُ
“Lihatlah dia, karena hal itu lebih layak melestarikan rasa cinta dan sayang diantara kalian berdua” (HR. Ibn Hibban.)
Sebaliknya, seorang perempuan juga dianjurkan untuk melihat calon suami sebagai pendamping hidupnya. Bahkan terkait dengan persoalan ini, Ibn Abidin mengatakan seorang wanita lebih berhak dari pada laki-laki, sebab bagi seorang laki-laki mempunyai peluang besar untuk meninggalkan wanita yang tidak dicintainya, berbeda halnya dengan seorang perempuan, ia akan kesulitan untuk mencari pengganti yang lebih ideal ketika menemukan ketidakserasian dalam diri sang suami.
Hukum diperbolehkan melihat diatas, dalam pandangan mayoritas ulama, hanya dikhususkan bagi orang yang mengetahui secara pasti atau minimal punya dugaan kuat lamarannya akan diterima. Sehingga apabila peluang cintanya ditolak lebih besar dari pada diterima, maka ia dilarang untuk melihat calon pendamping hidupnya.
Menurut mayoritas ulama, dalam proses seleksi karakter calon pendamping, seseorang hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan (dhohir dan bathin) meskipun khawatir akan menimbulkan fitnah atau syahwat. Hal ini juga dapat dilakukan hingga berulang kali –tiga kali atau lebih- sampai yakin dan menemukan karakter calon pendamping yang ideal selama tetap menjaga aturan-aturan syara’, seperti tidak terjadi khalwah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat pada saat khitbah tidak terbatas pada wajah dan kedua telapak tangan saja. Toleransi ini, dalam pandangan mereka, lebih luas hingga pada bagian-bagian yang menurut umumnya terlihat, seperti wajah, telapak tangan, leher, telapak kaki, kepala dan betis. Mereka beralasan, karena ada kebutuhan dan hadits yang menegaskan tentang diperbolehkan melihat wajah adalah bersifat mutlak. Abu Dawud ad-Dhahiri mengatakan bahwa calon suami diperbolehkan melihat seluruh anggota badan.
Namun pendapat Ini adalah pendapat munkar dan syadz(keluar dari ketentuan syariat), sebab akan menimbulkan fitnah.
Penjajakan karakter pasangan juga dapat dilakukan dengan cara mengutus seorang perempuan atau laki-laki yang halal melihatnya, untuk selalu meneliti perihal perempuan yang hendak ia nikahi. Atau juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi dengan orang yang lebih mengetahui perihal calon pendamping hidupnya. Bagi pihak yang dimintai konsultasi wajib untuk membeberkan semua keburukan-keburukan yang tidak dapat ditolelir. Membuka aib dalam konteks ini bukanlah sebuah larangan selama ada niat untuk saling memberi nasehat antar sesama, bukan dalam rangka menyakiti perasaan orang lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam telah mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta bukan dengan hubungan tanpa batas, atau diistilahkan dengan “Pacaran Islami” yang hanya dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah, namun hubungan yang dibingkai dengan nilai-nilai luhur dan dihiasi dengan fitrah keindahahan.
PDKT Via Sms Dan Facebook
Sebagai muslim sejati yang komitmen dan patuh dengan ajaran agama, tidak jarang ujian dan kendala datang menghambat dan menghadang jalan suluknya kepada sang ilahi Rabbi.
Tak ketinggalan generasi muda penerus perjuangan bangsa dengan segala perbedaan latarbelakang pendidikanya juga harus berpegang teguh dan tahan banting menghadapi beragam godaan syeitan. Secara psikologis, generasi muda lebih suka hidup berfoya-foya dan menyalurkan hasrat seksual dengan cara apapun.
Belum lama ini, kita diingatkan dengan tragedi heboh “Sms Zina” dan pengaruh buruk facebook yang melanda muda-mudi negara tercinta. Tidak sedikit gadis-gadis yang tidak berdosa menjadi korban keganasan laki-laki hidung belang(bejat). Penculikan, pencabulan dan pemerkosaan gadis di bawah umur sempat menjadi tranding topic salah satu media masa. Ironisnya, perbuatan yang melanggar norma agama ini, baik dilakukan atas dasar suka sama suka atau karena dipaksa, terjadi akibat beberapa baris kalimat yang ditulis dalam sebuah pesan singkat.
Sungguh benar kata pepatah “memandang (pandangan), lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, kemudian bercakap-cakap, berjanji dan akhirnya bertemu”.
Diakui atau tidak, interaksi antar lawan jenis melalui media apapun sangat berbahaya, lebih-lebih bagi orang yang lemah imannya dan dangkal wawasan keilmuannya.
Meningkatnya prosentase pergaulan bebas, kenakalan remaja dan degradasi moral timbul akibat kurangnya pengetahuan tentang norma-norma agama.
Dalam rangka meraih kesuksesan PDKT, tidak jarang para mania sms dan facebooker sejati melakukan obral janji, tebar pesona, dan mengeluarkan jurus “rayuan gombal”.
Lebih-lebih jika isi tulisannya memancing dan membangkitkan nafsu birahi. Hobi mereka adalah menggoda, mempermainkan dan menyakiti perasaan wanita. Bahkan sebagian dari mereka ada juga yang berperan sebagai playboy gadungan yang tidak bertanggung jawab karena memilki semboyan “habis manis sepah dibuang”.
Imam ibn Hajar al-Asqalani dalam karyanya Fath al-Bari (syarh Sahih al-Bukhari) mengatakan bahwa berbicara dengan wanita diperbolehkan hanya dalam kondisi dharurat saja. Di dalam Is’ad al-Rafiq disebutkan “Salah satu diantara berbagai macam maksiat adalah melakukan sesuatu yang dapat berpotensi menimbulkan keharaman”. Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengatakan melakukan sesuatu yang menurut umumnya(ada dugaan kuat) menimbulkan kemaksiatan adalah maksiat. Menurutnya, sebuah maksiat tidak harus wujud secara real.
Demikianlah gambaran dampak negatif PDKT dan pergaulan lawan jenis yang melanggar norma syari’at. Bermula dari situ ada salah satu forum bahtsul masail yang memutuskan bahwa PDKT via sms, facebook dan lain sebaginya tidak diperbolehkan karena dapat menimbulkan hal-hal negatif. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Referensi:
• Hasyiah AL-Jamal vol. IV hlm. 120
• Fath al-Mu’in vol III hlm 298-299
• Al-Fiqh al-Islami vol. IX hlm 6507
• I’anah al-Tholibin vol. III hlm 299
• Hasyiah Al-Bajuri vol. II hlm 101
• Tafsir al-Qurthubi vol. XVI hlm. 340-341
• Ihya’ Ulum al-Din vol. II hlm. 160
• Is’ad al-Rafiq vol. II hlm. 93
• Fath al-Bari vol. I hlm 238
REMAJA ISLAM DAN MALAM MINGGU
Malam minggu bagi para remaja zaman
sekarang adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Bukan hanya sebagai waktu luang
untuk melepaskan penat setelah seminggu bergulat dengan pelajaran, namun bagi
sebagian remaja, malam minggu identik dengan tradisi hura-hura dan wakuncar
(waktu kunjung pacar). Kegiatan ini mulai marak seiring dengan masuknya budaya
barat yang lebih ‘membebaskan’ hubungan antara laki-;laki dan perempuan. Banyak
remaja yang memanfaatkan waktu malam minggu atau malam ahad mereka untuk
berhura-hura dan juga untuk ,wakuncar’(waktu kunjung pacar).
Seolah-olah sudah menjadi tradisi, bagi remaja yang tidak melakukan tradisi ini yakni pacaran dan hura-hura, dianggap kuper atau tidak gaul. Padahal kegiatan yang demikian itu jika dilihat dari segi manfaat lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.. Bagi remaja Islam, kegiatan malam minggu hendaknya tidaklah demikian, karena remaja Islam sejati tidak akan mengikuti budaya orang-orang kafir.
Seolah-olah sudah menjadi tradisi, bagi remaja yang tidak melakukan tradisi ini yakni pacaran dan hura-hura, dianggap kuper atau tidak gaul. Padahal kegiatan yang demikian itu jika dilihat dari segi manfaat lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.. Bagi remaja Islam, kegiatan malam minggu hendaknya tidaklah demikian, karena remaja Islam sejati tidak akan mengikuti budaya orang-orang kafir.
Hura-hura dan wakuncar di malam minggu yang
dilakukan remaja seperti jalan-jalan di mall, nonton film di bioskop, makan
malam diluar menjadi agenda sebagian remaja yang terpengaruh oleh tradisi
budaya barat. Mudharatnya kegiatan tersebut banyak sekali seperti pemborosan,
berkhalwat dengan non muhrim, hingga dosa besar mendekati zina. Tidak ada
manfaat yang dapat diambil dari kegiatan hura-hura dan wakuncar yang kini
sering dilakukan oleh sebagian remaja. Sebagai remaja Islam, tentu harus
berbeda dengan mereka yang melakukan kegiatan mubazir seperti di atas. Meski
gejolak darah muda dalam diri seorang remaja mulai memanas, sehingga banyak
alasan pembenaran yang dikemukakan seperti untuk semangat belajar, untuk
belajar mengenal lawan jenis, untuk refreshing , karena cinta/sayang, dan
lain-lain, alasan pembenaran kegiatan tersebut tentulah tidak tepat dengan
syariah agama Islam. Islam adalah agama keselamatan bagi umat manusia,
karenanya para remaja Islam tentu harus mengikuti syariah agama agar bisa
selamat di dunia dan di akherat.
Sebuah perenungan yang patut direnungkan
melalui akibat-akibat tradisi malam mingguan yang sudah berlangsung selama
berpuluh tahun ini Pertama, berapa banyak remaja menikah di usia dini akibat
hamil di luar nikah, berapa banyak kasus perkosaan yang terjadi tiap tahun, berapa
banyak bayi-bayi tak berdosa yang tak memiliki bapak atau pun mati mengenaskan
di tempat sampah?, berapa banyak remaja yang kini berani beradegan mesum dan
kemudian dipublikasikan?Jika jawabannya banyak, maka masihkah pantas tradisi
seperti ini tetap dipertahankan di kalangan remaja?Jika mudharat yang dibawa
tradisi malam mingguan seperti di atas ternyata terbukti sangat banyak dan
tentu membahayakan masa depan para remaja, sanggupkah para remaja sekarang
merubahnya? Bagi para remaja Islam sejati, kenyataan ini seharusnya
menjadikannya sanggup menjadi pelopor perubahan itu dengan membangun aqidah dan
akhlaq Islamiyah yang kuat dan mengaplikasikannya dalam kebiasaan hidup
sehari-hari.
Malam minggu/ahad dan hari ahad
hendaknya dijadikan sebagai waktu yang lebih bermanfaat dan lebih produktif.
Zaman yang semakin sulit seperti sekarang ini, seharusnya disadari para remaja
untuk lebih produktif dan berprestasi demi menunjang masa depannya kelak.
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan dalam mengisi malam minggu/ahad dan hari
ahad yang lebih bernilai positif, antara lain mengikuti klub atau kursus yang
mendukung pengembangan bakat, sehingga pada akhirnya dapat menambah tabungan
dan lebih mandiri dengan memanfaatkan kemampuan/bakat yang dimiliki
tersebut.Kegiatan positif ini juga harus diiringi dengan peningkatan kualitas
aqidah dan akhlak islamiyah. Dengan demikian, hidup seorang remaja Islam sejati
akan lebih berarti dan insyaAlloh mendapat ridho dari Alloh SWT.
Kehidupan masa remaja Rasulullah SAW
dapat menjadi suri teladan, dimana masa remaja Beliau dilalui dengan perjuangan
dan kerja keras diiringi dengan akhlaq yang terpuji. Hasilnya sangat luar
biasa, Beliau menjadi seorang pemimpin yang sangat disegani sekaligus ditakuti
oleh seluruh bangsa di dunia. Memanglah tepat, masa remaja seharusnya tidaklah
dihabiskan dengan hura-hura dan mengikuti nafsu duniawi namun digunakan untuk
menempa kemampuan diri dan pribadinya sebagai bekal hidup di hari kemudian.
Masa remaja merupakan masa emas dimana banyak impian, cita-cita, dan harapan
tinggi dalam genggaman erat untuk diwujudkan. Jika masa remaja hanyaa
dihabiskan hanya dengan mengikuti nafsu duniawi saja, hasilnya sungguh luar
biasa sangat rugi. Kelak akan hidup terlunta-lunta dan menderita tidak hanya di
dunia namun juga di akherat nanti.Na’udzubillahimindzalik.Wallahu’alam bi
shawab ##
Sejarah Carok dan Celurit Madura
Sejarah Carok dan Celurit Madura, Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang.
Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang
Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol
kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).
PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera.
Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M.
Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.
Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal.
Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian.
Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera.
Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M.
Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.
Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal.
Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian.
Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
Ditulis
pada 20 March 2010
BAB I
PENDAHULUAN
Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem
pendidikan di seluruh dunia. Negara yang mengabaikan pendidikan sebagai
prioritas utama akan tertinggal dari kemajuan segala bidang, disbanding Negara
lain yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat
penting.Kedudukan filsafat pengetahuan yang tugasnya ialah menyoroti gejala
pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab mushabab. Pokok-pokok bahasan
apakah suatu pengetahuan itu benar dan tetap dan terpercaya, tidak berubah atau
malah berubah-ubah terus, bergerak dan berkembang. Filsafat adalah
suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan
sampai jauh diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian
ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir
manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab
pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang
dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia (mungkin juga
pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending) .
Ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dasarnya bukanlah
ilmu, tetapi suatu usaha manusia untuk memuaskan dirinya selagi suatu fenomena
tidak / belum dapat dijelaskan secara keilmuan.
Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperolehpengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan
melakukan observasiserta
membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam.Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji
dengan melakukaneksperimen.
Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi
suatu teori ilmiah.
BAB II
PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana
mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan
menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang
didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan
menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi
antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan
menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat
pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi
masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan
tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan
rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep
yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek
terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta
didik.
Beberapa Aliran Filsafat dalam Pendidikan
Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam
pengembangan pendidikan, misalnya, idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme,
behaviorisme, dan konstruktivisme. Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu
sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya
proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia.
Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh,
bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu
menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada
masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi
oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan
untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan
pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal
baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa
pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk
aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham
behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus
dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan
behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku.
Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya,
mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut
paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu
mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain
melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki
seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan
berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
Filsafat Pendidikan
Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas
filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat.Filsafat pendidikan pada
dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari
filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan,
dan nilai.Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti
materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat
pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam
alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai
aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.Brubacher
(1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu:
Filsafat pendidikan “progresif”Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John
Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau Filsafat pendidikan “
Konservatif”.Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme
rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan
esensialisme, perenialisme,dan sebagainya.Berikut aliran-aliran dalam filsafat
pendidikan:
Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir
adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca
indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah
tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk
secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam
aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali
Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang
memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas
ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas
menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak
dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat
dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme:
Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat
realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa
tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach
Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat
Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang
berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa
tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James,
John Dewey, Heracleitos.
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada
pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan
kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan
manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin
Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan
filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu
gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat
bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa
mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru
atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william
O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme adalah suatu
filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu
kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa
pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di
antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas
Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam
pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu
reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme
yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu
perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan
ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan
dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan
bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan
masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori
oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat
baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline
Pratt, George Count, Harold Rugg.
Fenomena ”Hidup Lebih Maju”Setiap orang, pasti menginginkan
hidup bahagia. Salah satu diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya
atau bisa disebut hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat
diwujudkan melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan diatas, menurut
pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada terwujudnya
kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang didukung oleh sebuah
idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan filsafat pendidikan
mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai realitas, pengetahuan, dan nilai
seperti yang telah disebutkan diatas.Jadi, aliran filsafat yang pas dan sesuai
dengan pendidikan yang mengarah pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya
yakni filsafat pendidikan progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan
lebih baik lagi bila semua filsafat diatas bisa saling melengkapi.Tanpa Filsafat,
Pendidikan Matematika Menjadi Lemah. Lemahnya pendidikan matematika di Indonesia
merupakan akibat tidak diajarkannya filsafat atau latar belakang ilmu
matematika. Dampaknya, siswa, bahkan mahasiswa, pandai mengerjakan soal, tetapi
tidak bisa memberikan makna dari soal itu. Matematika hanya diartikan sebagai
sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau dicari
jawabannya.Demikian diungkapkan Prof Dr Maman A Djauhari guru besar dari ITB
dalam acara pembukaann Konferensi Matematika dan Statistika antara
Indonesia-Malaysia, yang digelar di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya, Kamis (11/1) siang. Konferensi untuk kedua kalinya ini digelar selama
dua hari,11-12 Januari, diikuti para pakar matematika dan statistika dari
Malaysia dan Indonesia dengan pemaparan hasil kajian oleh lima orang doktor dan
profesor dari Malaysia. Pengguna
Ilmu Dikatakan Maman, karena tidak
menyampaikan tentang filsafat matematika, ke depan Indonesia masih tetap
sebagai bangsa yang hanya sebagai pengguna ilmu, bukan penemu ilmu. ”Kondisi
ini sangat memprihatinkan, karena memang pola pendidikan kita mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tidak diposisikan sebagai orang yang
disiapkan untuk menjadi penemu ilmu. Siswa dan mahasiswa lebih diposisikan
sebagai pengguna ilmu. Fakta ini sangat memprihatinkan dibanding dengan kita
dicap hanya sebagai bangsa pengguna teknologi,” katanya. Akibat dari semua itu
kata dia, sering ditemui siswa atau mahasiswa tidak mampu memberikan penjelasan
atau interpretasi terhadap sebuah soal dalam matematika.Misalnya, Maman
menyodorkan sebuah contoh, betapa para siswa SMA dan mahasiswa akan dengan
mudah dan dipastikan benar, manakala diminta untuk mengerjakan soal determinan
dari sebuah materik. Tapi ketika ditanya lebih lanjut apa makna dan pengertian
dari determinan yang telah dikerjakannya itu, hampir dapat di-pastikan, tidak
ada yang mengerti.
Inilah problem dasar pada pendidikan matematika kita di Indonesia.
Siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah
persoalan. Padahal, kita tahu, matematika itu adalah interpretasi manusia
terhadap fenomena alam,” katanya. Terhadap kelemahan itu, kata Maman memang
tidak ingin kemudian melakukan perubahan terhadap kurikulum matematika yang
sudah ada, tapi ia hanya berharap ada perubahan paradigma dan cara pandang baru
tentang bagaimana unsur-unsur filsafat itu bisa diberikan kepada siswa dan
mahasiswa. “Tentu ini ditujukan kepada para guru dan dosen agar apa yang
diberikan kepada para peserta didiknya harus dilengkapi dengan berbagai
penjelasan dan latar belakang terhadap sebuah rumus yang telah diyakininya itu,
sebagai sebuah pengetahuan filsafat,”
BAB III
SIMPULAN
Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya
terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas
kemampuan logika manusia. Ada beberapa aliran dalam filsafat pendidikan yaitu:
Filsafat Pendidikan Filsafat Pendidikan Pragmatisme, Filsafat Pendidikan Eksistensialisme,
Filsafat Pendidikan Progresivisme, Filsafat Pendidikan esensialisme, Filsafat
Pendidikan Perenialisme, dan Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme.
DAFTAR PUSTAKA
C.Verhak, 1989. Filsafat Ilmu dan Pengetahuan. Jakarta: PT. Gramedia
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/01/12/index.html
Uyoh Sadulloh, 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi
Pendidikan Matematika, 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)